“Ada
masalah apa Rom? Kenapa kau langsung keluar begitu saja dengan mengatakan kau
mengundurkan diri?” tanyanya kepada Romie. Namun Romie hanya diam dan tidak
menjawab pertanyaan Raka itu. “Rom kau kenapa?” tanyanya lagi sambil memegang
pundak Romie. Raka pun kaget ketika memegang pundak Romie. Dia merasakan tubuh
Romie gemetaran seperti orang yang ketakutan. Dia pun langsung membalik tubuh
Romie. Saat dibalikan dia melihat wajah Romie yang terlihat pucat. “Rom kau ini
kenapa? ayo cerita” pintanya mulai khawatir. Namun Romie masih belum juga mau
menjawab. “Tunggu sebentar disini” pintanya. Raka langsung lari keruangannya.
Dia mengambil sebuah botol yang beris air mineral yang ada diatas mejanya
kemudian dia menghampiri Romie lagi.
“Minum
dulu” ucapnya kepada Romie sambil menyodorkan botol tadi kepada Romie. “Mungkin
setelah minum kau bisa lebih baikan” katanya lagi. Romie pun mengambil botol
yang diberikan oleh Raka dan meminumnya. Selesai minum dia menarik napas
dalam-dalam kemudian dia menghembuskannya perlahan. “Bagaimana sudah lebih baik?”
tanya Raka. Romie hanya mengangguk. “Sebenarnya ada apa Rom?” tanya Raka pelan.
Akhirnya Romie mulai membuka mulutnya “Aku tidak apa-apa Ka. Aku baik-baik
saja” jawabnya perlahan. “Jangan berbohong Rom. Tubuhmu gemeteran wajahmu juga
pucat. Bagaimana mungkin kau baik-baik saja?” balasnya. Kembali Romie hanya
diam dan tidak mengatakan apa-apa. “Baiklah sepertinya kau tidak menganggapku
sebagai temanmu lagi sehingga kau tidak mau menceritakan masalahmu kepada
temanmu ini” ucapnya lagi. “Tidak bukan begitu” ucap Romie gugup. “Terus kenapa
kau tidak mau menceritakan masalahmu?” tanya Raka. “Aku malu menceritakannya”
jawab Romie dengan suara pelan. “Apa? Malu? Seorang Romie mempunyai rasa malu?”
ledek Raka. “Kau ini mau membantuku atau malah meledekku?” ucap Romie sedikit
kesal. “Tentu saja aku mau membantumu tapi bagaimana caranya aku bisa membantu
kalau kau tidak mau cerita?” ucapnya. Romie terdiam kembali.
“Sebenarnya ada apa sih Rom? Ayo cerita” tanya
Raka mulai serius. Romie menghela napasnya kemudian mengatakan “Aku takut
kematian Ka” jawabnya ragu-ragu. “Maksudnya?” tanya Raka bingung. “Iya aku
takut mati” jawab Romie lagi. Untuk beberapa detik Raka mematung karena kaget
dengan ucapan sahabat baiknya itu. “Kau takut mati? Bagaimana bisa? Kau yang
ketika bertugas terlihat sangat serius dan saat meringkus tersangka pun dengan
beraninya kau menangkap para tersangka itu. Ternyata kau takut kematian?
Bagaimana bisa?” tanyanya dengan nada keheranan. “Ceritanya panjang Ka”
jawabnya lagi. “Tak Apa ceritakan saja aku akan mendengarkan” tukas Raka yang
dipenuhi dengan rasa penasaran.
Romie
menghela napasnya. “Dulu aku mempunyai masa-masa yang indah dengan keluargaku”
Romie memulai ceritanya. “Bagiku keluargaku adalah sosok yang sangat istimewa.
Mereka sangat menyayangiku, aku pun sangat menyayangi mereka. Banyak kenangan
indah antara aku dan kedua orangtuaku juga kakaku. Kami selalu sarapan pagi
bersama, makan malam pun selalu bersama. Setiap malam kami selalu berkumpul
bersama untuk saling bertukar cerita atau hanya sekedar bercanda” Romie mulai
meneteskan air mata.
“Ibuku
yang akan memarahi aku dan kakakku ketika kami melakukan kesalahan namun disisi
lain dia juga yang menjadi pelindung ketika kami mempunyai masalah. Ayahku yang
walaupun dia tidak terlalu bisa mengikuti perkembangan jaman namun dia adalah
ayah yang dapat diandalkan. Dia selalu ada saat kami membutuhkan bantuannya. Dan
kaka ku, aku selalu bertengkar dengannya memperebutkan suatu hal. Namun,
walaupun begitu dia adalah seorang kakak yang pengertian. Kalau ada masalah aku
selalu mengeluh kepada kaka ku. Entah itu karena pelajaran atau permasalahan
teman atau yang lainnya. Dan setelah itu dia akan belagak seperti orang dewasa
kemudian dia menasehatiku. Lucu sekali kalau mengingat tampangnya waktu itu. Dan
masa-masa itu hanya menjadi memori karena sekarang mereka sudah tidak ada. Masa
itu adalah masa-masa terindah buatku” ujarnya, tetesan air mata terus keluar
membasahi wajah Romie.
Raka
tersentuh dengan cerita Romie. Air mata hampir keluar dari matanya namun
ditahannya karena dia tidak mau kalau Romie melihatnya ikut bersedih. “Lalu apa
yang terjadi dengan mereka” tanya Raka. “Ketika aku berumur 15 tahun sekelompok
orang mendatangi rumahku. Mereka masuk ke dalam rumah lalu menodongkan pistol
ke arah kami. Tentu saja kedua orang tuaku mencoba melindungi aku dan kakaku.
Kemudian ayahku mencoba untuk melawan, namun belum sempat dia melawan sebuah
tembakan dilepaskan oleh salah seorang dari mereka dan tembakan itu tepat
mengenai kepala ayahku” tubuh Romie bergetar kembali menceritakan kenangannya
itu. Raka hanya bisa diam mendengar cerita temannya itu. “Setelah membunuh
ayahku, mereka mengejar aku, ibuku dan kakaku. Kami berusaha melarikan diri
namun pada akhirnya kami terpojokkan juga. Orang yang mengejar kami menodongkan
pistolnya lagi ke arah kami. Namun, ibuku langsung memeluk kami dia mencoba
melindungi aku dan kakaku dan setelah itu ibuku berkata “maafkan ibu karena
tidak bisa melindungi kalian. Ibu sangat menyayangi kalian” dan beberapa detik
setelah mengatakan itu orang tadi menembak ibuku.
Aku
yang melihat mayat ibuku tergeletak didepan ku hanya bisa menangis. Berbeda
dengan kaka ku disaat-saat terakhirnya aku melihat keberaniannya. Dengan
beraninya dia berlari menuju orang yang menembak ibuku tadi dan mencoba
memberikan perlawanan. Ketika dia sedang melawan orang itu, dia berteriak agar
aku melarikan diri. Namun belum sempat aku melarikan diri orang itu menmbak kakaku
tepat dikepalanya. Aku hanya bisa menangis waktu itu. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku sudah pasrah. Tetapi belum sempat orang itu menembakku polisi
datang. Mendengar suara sirine mobil dia dan teman-temannya langsung kabur
meninggalkan aku dengan mayat kedua orangtuaku dan kakaku” air mata Romie
keluar sangat deras. Dia sudah tidak bisa membendung kesedihannya itu.
Raka
tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bingung harus melakukan apa. Dia pun sedih
mendengar cerita temannya itu. Kemudian Romie melanjutkan ceritanya “Aku trauma
dengan kejadian itu. Dan kalau mendengar kata kematian atau melihat mayat aku
langsung teringat kembali kejadian itu” ujarnya. “Jadi karena itu kau tidak
pernah mau menerima kasus pembunuhan?” tanya Raka. Romie hanya mengagukan
kepalanya. “Lalu kenapa kau menjadi polisi? Polisi khan erat kaitannya dengan
mayat dan juga kematian?” tanyanya lagi. “Karena ayahku seorang polisi. Ayahku seorang
polisi dengan pangkat Jendral” jawabnya. Raka terkejut mendengar kalau ayah
Romie ternyata seorang Jendral Polisi. “Ayahku adalah seorang Polisi yang
hebat. Dia tidak takut dengan apapun, dia sangatlah pemberani karena itu aku
ingin menjadi seperti dia. Dan karena itulah aku menjadi seorang polisi”
jawabnya sambil mengusap air matanya.
“Jadi
begitu...” gumamnya. “Aku tidak tahu kau mempunyai masa lalu seperti itu” ucap
Raka. “Lalu kenapa kau tadi pergi meninggalkan ruangan dan mengtakan akan
mengundurkan diri?” tanyanya. “Kau tau sendiri khan apa yang dikatakan oleh
Yolland. Chip itu bisa saja menyebabkan kematian ketika dimasukan ke dalam
tangan kita” jawabnya. “Jadi kau takut?” tanya Raka lagi. Romie tidak menjawab
dia hanya diam. “Sekarang aku ingin tanya seandainya saja Ayahmu yang
mendapatkan kesempatan itu. Apakah ayahmu akan melarikan diri seperti yang kau
lakukan?” tanya Raka lagi. “Tentu saja tidak” jawab Romie dengan nada yang
sedikit tinggi. “Nah kalau begitu apa yang dipikirkan ayahmu kalau melihat
anaknya melarikan diri dan melepas tanggung jawab yang sudah diberikan kepadamu
begitu saja?” tanya Raka lagi. Dan Romie pun hanya diam tak bisa menjawab. “Aku
rasa dia akan sedih melihat anaknya menjadi seorang pengecut. Dia pasti ingin
anaknya menjadi seorang pemberani bukan menjadi pengecut seperti ini” ucap
Raka. “Aku tahu itu tapi kau tidak tahu bagaimana rasanya memiliki trauma
seperti ini” balas Romie dengan nada rendah. “Mendengar kata kematian saja
tubuhku langsung mengigil ketakutan apalagi kalau membayangkan aku akan mati
setelah chip itu dimasukan kedalam tanganku” ujarnya lagi.
“Kau
ini, lain kali kalau orang belum selesai mejelaskan jangan menyela begitu saja”
ucap Raka. “Maksudmu?” tanya Romie. “Coba kau lihat ini” sambil menunjukkan
telapak tangannya yang mempunyai sebuah bekas goresan. Kemudian Romie melihat
tangan Raka dengan heran. “Ada apa dengan tanganmu?” tanyanya. “Kau lihat garis
ini?” Raka balik bertanya. “Iya aku lihat” Romie menjawab dengan nada bingung.
“Kau ingat khan tiga hari yang lalu aku melakukan rencana bunuh diri. Aku
mencoba bunuh diri dengan menjadi bahan percobaan pemasangan chip itu”
jelasnya. Dan Romie pun kaget “Bagaimana bisa?” tanyanya. “Tanpa sengaja aku
melintas di ruangan dimana Bapak Jendral, Yolland dan Valeno sedang berdiskusi
dan aku mendengar percakapan mereka. Singkat cerita aku mendengar kalau mereka
ragu untuk memasangkan chip ini di tubuh kalian karena ada kemungkinan
menyebabkan kematian dan pada saat itu aku masuk dan menawarkan diri. Awalnya
Bapak Jendral melarang tapi karena aku terus memaksa akhirnya diijinkan.”
jelasnya. “Jadi kau sudah memiliki chip di dalam tubuhmu?” tanyanya memastikan.
“Benar. Bekas goresan yang ada ditelapak tanganku ini adalah bukti pemasangan
chip itu. Tapi kau lihat sendiri khan aku tidak apa-apa. Aku sehat-sehat saja
tidak terjadi apapun apalagi kematian.” Jawab Raka. “Jadi maksudku adalah kau
tak perlu berpikir yang tidak-tidak karena temanmu ini sudah menjadi bukti
kalau pemasangan chip itu tidak berbahaya apalagi sampai menyebabkan kematian.
Mengerti” lanjutnya. “Jadi ini hal yang tidak mau kau ceritakan kepadaku
sebelumnya karena ini adalah sebuah rahasia?” tanya Romie. “Benar. Karena ini
adalah rahasia besar jadi aku tidak bisa menceritakan kepada siapapun termasuk sahabatku
sendiri. Dan karena kau sudah mengetahui semuanya maka dari itu aku
menceritakannya kepadamu sekarang” jelas Raka. “Jadi bagaimana? Kau sudah
bersedia kembali kesana dan melakukan pemasangan chip itu?” tanyanya. Romie
diam memikirkan apakah dia akan kembali atau tidak. Kemudian setelah beberapa
menit dengan berbagai pertimbangan akhirnya dia setuju untuk kembali ke gedung
tadi dan bersedia untuk dipasangkan chip ke dalam tangannya. Raka pun senang
dengan jawaban temannya itu. Mereka pun kembali ke gedung rahasia tadi.
Diperjalanan
kembali ke gedung rahasia, mereka mengobrol tentang masa lalu yang diceritakan
Romie tadi. Membahas apa motif dari pelaku membunuh anggota keluarga Romie dan
siapa kira-kira pelakunya. Tak lama mereka sampai digedung rahasia tersebut.
Ketika mereka hampir sampai di gedung tersebut, mereka mendengar suara
ribut-ribut. Mereka pun segera bergegas lari menuju gedung itu dan mereka kaget
ketika masuk ke dalam gedung tersebut.






0 comments:
Post a Comment